Rabu, 03 Oktober 2007

Tanggung Jawab Sosial Gereja -1

Tantangan saat ini dan ke depan

1. Dewasa ini Gereja telah berada dalam era masyarakat yang mulai kehilangan batas-batas (borderless) dalam segala bidang kehidupan. Makin lancarnya transportasi dan makin canggihnya sarana informasi, menyebabkan dunia menjadi semakin sempit. Perkembangan di salah satu belahan bumi, akan diketahui pada saat bersamaan di belahan bumi yang lain. Pola kehidupan di suatu negara, dalam waktu singkat akan dilihat (dan mungkin ditiru) oleh masyarakat di negara lain. Batas-batas budaya, etnis dan kedaerahan makin luntur. Namun, sebagai reaksi paradoksal terhadapnya berkembang pula kecenderungan defensif masyarakat atau komunitas manusia untuk mempertahankan keterikatan primordialnya secara sempit. Di tengah keterasingannya, manusia berusaha kembali mencari kehangatan dalam ikatan-ikatan lamanya, entah secara etnik, kultural maupun religius. Pada satu sisi ada kecenderungan masing-masing komunitas berusaha untuk mempertegas identitasnya, namun pada sisi yang lain, komunitas-komunitas itu berhadapan dengan pluralitas yang kerap kali melunturkan identitas-identitas partikularnya. Jika tidak diwaspadai, usaha mempertegas identitas tanpa memperhatikan realitas pluralistik yang dihadapi, akan menumbuhkan wawasan kerdil, yang pada gilirannya akan membuka peluang bagi terjadinya benturan dan ketegangan antarkomunitas atau antarkelompok masyarakat, baik yang bersifat lunak, maupun yang berbentuk kekerasan.

2. Fakta lain yang tidak dapat diabaikan, gereja dan seluruh umat Kristen kini telah berada di era masyarakat modern, bahkan mulai memasuki era post modern, yang dicirikan oleh rasionalitas, fungsionalitas, produktivitas, serta kemampuan bersaing (competitiveness). Jika gereja dan umat Kristen mengabaikan ciri-ciri tersebut, maka mereka akan terpinggirkan (termarjinalisasi). Dalam segala segi kehidupan, pemilihan alternatif-alternatif oleh masyarakat cenderung makin didasarkan pada pertimbangan rasional, fungsional, hasil yang dicapai dan keunggulan yang dimiliki. Segala penawaran, entah barang atau pun jasa, tidak mungkin dilepaskan dari pertimbangan-pertimbangan tersebut. Mestinya, dalam masyarakat modern dan post modern, pertimbangan-pertimbangan yang didasarkan pada sentimen primordial sempit makin tidak memperoleh tempat. Namun yang jelas, benturan antara partikularitas dan pluralitas (universalitas) sedang bergolak di seluruh dunia, dan di negara-negara ‘tanggung’ seperti Indonesia ini, gereja menghadapi tekanan berat akibat benturan tersebut.

3. Dalam tatanan masyarakat dewasa ini, gereja dan umat Kristen berada di tengah gaya tarik globalitas, pluralitas dan diversitas, baik dari sisi agama, budaya, ekonomi, politik, maupun etnik. Pada satu sisi, manusia makin menyadari bahwa secara mondial dirinya berada dalam kebersamaan dengan orang lain, dan merupakan bagian dari masyarakat mondial itu. Namun pada sisi lain harus pula disadari bahwa komposisi masyarakat dunia itu terdiri dari berbagai keanekaragaman. Seharusnya keanekaragaman tersebut diterima sebagai pluralitas yang wajar dan bukan dipandang sebagai diversitas. Pluralitas mengacu pada adanya hubungan saling bergantung antarberbagai hal yang berbeda, sedangkan diversitas mengacu pada ketiadaan hubungan seperti itu.

4. Di samping itu, gereja juga menghadapi realitas lain. Dapat diproyeksikan bahwa spesifikasi-spesifikasi bidang kehidupan akan makin tajam dan penguasaan keterampilan-keterampilan tertentu akan makin dibutuhkan oleh pasar (masyarakat pengguna). Dapat diperhitungkan bahwa perhatian masyarakat akan makin bergeser, bukan lagi pada formalitas ijazah yang diperoleh seseorang, melainkan pada sertifikasi sebagai bukti penguasaan keahlian dan keterampilan tertentu. Hal ini memberi peluang bagi terciptanya berbagai bidang kehidupan yang baru. Sehubungan dengan itu, gereja dan umat Kristen dituntut untuk kreatif mencari dan menemukan alternatif-alternatif pilihan kehidupan.

5. Dalam perkembangan masyarakat dewasa ini, pada satu pihak diharapkan bahwa kesadaran terhadap harkat kemanusiaan yang makin tinggi dapat memberi arah menuju makin dihargainya nilai kemanusiaan. Namun pada pihak lain, seiring dengan itu, perlu disadari bahwa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak terkontrol oleh moralitas dan etika juga cenderung mengabaikan kemanusiaan, sehingga dapat pula terjadi proses dehumanisasi yang makin parah. Dalam hal ini, gereja diharapkan mampu menunjukkan keunggulannya di bidang moral dan etika. Gereja tidak hanya berurusan dengan masalah ‘kerohanian’ yang abstrak, melainkan juga berurusan dengan masalah kemasyarakatan secara konkret. Mestinya gereja mampu menjadi sumber pengajaran moral dan etika bagi masyarakat.


Oleh : Drs. Bambang Subandrijo, MTh., MA
Disampaikan dalam Weekend Session
GKJ Tangerang Pepanthan Serpong
22 September 2007

Tidak ada komentar: